Gambar bendera Turki/Pixabay.com/Musakose
Turki, sebuah negara dengan sejarah panjang dan penuh gejolak, kini dihadapkan pada babak baru dalam dinamika politik dan militernya di Timur Tengah. Di masa lalu, Turki dikenal sebagai tempat perlindungan bagi bangsa Yahudi yang terusir dari berbagai belahan dunia, khususnya Eropa. Saat itu, Turki dipimpin oleh Kekhalifahan Ottoman yang memberikan perlindungan dan tempat tinggal bagi bangsa Yahudi. Namun, sejarah ini kini memberikan beban moral dan politik yang besar bagi Turki, terutama ketika bangsa Yahudi—yang kini diwakili oleh negara Israel—melakukan penindasan terhadap rakyat Palestina.
Sejarah Singkat Hubungan Turki dengan Bangsa Yahudi
Hubungan Turki dengan bangsa Yahudi dimulai sejak zaman Kekhalifahan Ottoman. Pada tahun 1492, ketika Spanyol memberlakukan dekret pengusiran terhadap orang Yahudi dalam Inkuisisi Spanyol, Kekhalifahan Ottoman membuka pintu bagi mereka untuk menetap di wilayah kekuasaannya. Sultan Bayezid II menyambut para pengungsi Yahudi ini dan memberi mereka tempat tinggal di berbagai wilayah, termasuk Istanbul, Thessaloniki, dan kota-kota besar lainnya. Mereka diberikan kebebasan beragama, hak untuk berdagang, dan peluang untuk berkembang dalam masyarakat Ottoman.
Selama berabad-abad, komunitas Yahudi hidup dengan relatif damai dan sejahtera di bawah perlindungan Ottoman. Mereka memainkan peran penting dalam ekonomi dan budaya kekhalifahan, serta menjalin hubungan yang baik dengan tetangga Muslim mereka. Namun, segalanya mulai berubah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ketika gelombang nasionalisme Yahudi, yang dikenal sebagai Zionisme, mulai berkembang di Eropa. Gerakan Zionis ini bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina, yang pada saat itu masih merupakan bagian dari Kekhalifahan Ottoman.
Kembalinya Bangsa Yahudi ke Palestina dan Dampaknya
Seiring dengan melemahnya Kekhalifahan Ottoman dan meningkatnya tekanan internasional, terutama dari Inggris, Yahudi mulai bermigrasi kembali ke Palestina secara besar-besaran pada awal abad ke-20. Pada 1917, Deklarasi Balfour oleh pemerintah Inggris mendukung pendirian "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina. Ini menandai awal dari konflik panjang antara penduduk Arab Palestina dan imigran Yahudi.
Setelah Perang Dunia I, Kekhalifahan Ottoman runtuh dan Palestina jatuh di bawah mandat Inggris. Jumlah imigran Yahudi ke Palestina meningkat tajam, memicu ketegangan dengan penduduk Arab setempat yang merasa terancam oleh kehilangan tanah dan identitas mereka. Pada tahun 1948, setelah Holocaust di Eropa dan meningkatnya dukungan internasional untuk Zionisme, Israel secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya, yang diikuti dengan perang besar antara negara baru ini dan tetangga Arabnya.
Konflik ini terus berlanjut hingga hari ini, dengan rakyat Palestina yang terpinggirkan dan tertindas di wilayah yang semakin menyusut. Israel, yang sebelumnya merupakan minoritas tertindas di berbagai belahan dunia, kini menjadi kekuatan militer yang dominan di kawasan itu, dengan dukungan penuh dari negara-negara Barat.
Turki dan Perubahan Sikap terhadap Israel
Selama beberapa dekade
Turki, meskipun mayoritas Muslim, tetap menjaga hubungan baik dengan Israel, bahkan menjadi salah satu negara Muslim pertama yang mengakui Israel pada tahun 1949. Namun, hubungan ini mulai memburuk pada awal abad ke-21 di bawah pemerintahan Erdoğan, yang semakin kritis terhadap kebijakan Israel di Palestina.
Sekarang, situasi di Palestina semakin memburuk. Israel dimata mayoritas manusia melakukan genosida terhadap rakyat Palestina melalui serangan militer yang tidak berkesudahan, pasukan militernya terbukti membunuh anak-anak , Lansia dan wanita Palestina. Namun dunia internasional, meski sudah banyak kecaman, tampaknya belum mampu menghentikan kekejaman ini. Dalam kondisi yang semakin terjepit, Turki, di bawah kepemimpinan Erdoğan, dikabarkan sedang mempertimbangkan langkah ekstrem: memberikan bantuan militer kepada Hamas, kelompok perlawanan yang dianggap sebagai teroris oleh beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Israel, namun dipandang sebagai pejuang kebebasan oleh banyak orang di dunia Muslim.
Keputusan Turki ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga merupakan tanggapan tegas terhadap ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Palestina. Erdoğan dan pemerintahannya tampaknya bertekad untuk menyeimbangkan kembali kekuatan di wilayah tersebut, meskipun hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan dengan sekutu Baratnya, terutama Amerika Serikat dan negara-negara anggota NATO lainnya. Langkah ini juga mencerminkan sikap keras Turki terhadap kebijakan Israel yang dinilai melampaui batas kemanusiaan.
Turki, sebagai negara yang memiliki kapasitas militer kuat, termasuk dalam bidang teknologi drone dan sistem pertahanan udara, siap memberikan dukungan logistik, intelijen, dan mungkin juga pasokan senjata kepada Hamas. Bantuan ini diharapkan akan memperkuat posisi Hamas dalam menghadapi serangan Israel yang semakin intensif.
Namun, keputusan ini juga membawa risiko besar. Turki mungkin akan menghadapi sanksi internasional, isolasi diplomatik, dan bahkan kemungkinan konfrontasi militer langsung dengan Israel dan sekutu-sekutunya. Tetapi bagi Turki, ini adalah harga yang pantas dibayar untuk mendukung saudara-saudara Muslimnya di Palestina, yang selama puluhan tahun telah menjadi korban kekerasan dan penindasan.
Pada akhirnya, keputusan Turki untuk mendukung Hamas adalah sebuah langkah tegas yang menunjukkan bahwa negara tersebut tidak lagi bersedia hanya menjadi penonton dalam konflik Palestina-Israel. Dengan segala risiko yang ada, Turki tampaknya siap untuk menghadapi konsekuensi demi membela rakyat Palestina yang tertindas. Keberanian ini mungkin akan mengubah peta geopolitik di Timur Tengah dan menandai babak baru dalam perjuangan panjang rakyat Palestina untuk mendapatkan kebebasan. **husni anwar*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar